Sisi manusiawi Soedirman sebagai bapak hanya sekelumit disajikan lewat adegan saat ia berpamitan dengan anak-anaknya dan dengan sang istri yang tengah hamil tua. Ada pula lewat interaksinya dengan rakyat pada rute-rute gerilya yang ditempuhnya.
Soekarno, Hatta, Tan Malaka
Film
dibuka dengan adegan terpilihnya Jenderal Soedirman sebagai panglima
besar lewat voting. Soedirman sempat diragukan karena dulunya berasal
dari Pasukan Peta bentukan Jepang. Ia juga terlihat berinteraksi dengan
Tan Malaka yang digambarkan menginginkan kemerdekaan 100 persen bagi
Indonesia dan menempuh segala cara.Film yang merupakan produksi bersama Markas Besar TNI Angkatan Darat, Yayasan Kartika Eka Paksi, Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat, dan Padma Pictures ini menyajikan perjalanan Jenderal Soedirman yang menempuh 1.000 kilometer dalam keadaan sakit parah dengan hanya satu paru-paru yang tersisa.
Film dibuat seru dengan banyak adegan action, seperti baku tembak atau pengeboman dari pesawat udara. Ada pula adegan yang dibuat dramatik heroik, yaitu ketika Karsani (Gogot Suryanto), salah seorang prajurit Jenderal Soedirman, diberondong peluru dari berbagai penjuru oleh tentara KNIL. Penembakan diperlihatkan jelas dari jarak dekat dan dari atas hingga Karsani tersungkur bersimbah darah.
Alur cerita berjalan maju dan mudah dipahami meski banyak menampilkan banyak nama tokoh dan detail tanggal bersejarah dalam proses mempertahankan kemerdekaan saat itu. Suasana yang tegang atau mencekam berusaha diimbangi dengan sesekali adegan ringan yang memancing senyum dan tawa mengendurkan kerut dahi.
Jalur gerilya yang melewati hutan, gunung, pantai, tebing, gua, lembah, dan jurang juga menjadi pemandangan menarik tersendiri. Pengambilan gambar mengambil lokasi, antara lain di Magelang, Batujajar, Wonosari, Yogyakarta, dan Situ Lembang, Bandung. Ada beberapa titik lokasi shooting, menurut Westi, memang merupakan jalur yang dulu digunakan gerilya oleh Jenderal Soedirman.
Pasukan Soedirman sempat berpapasan dengan tentara pengikut Tan Malaka yang menggunakan ban merah di lengan. Mereka disebut tentara komunis. Tan Malaka juga diperlihatkan tengah berorasi dengan berapi-api yang menarik perhatian rakyat. Adegan tentang Tan Malaka tidak begitu banyak. Pada akhirnya, diperlihatkan Tan Malaka tengah digiring ke dalam hutan dengan tangan terikat tali ke belakang yang ujungnya dipegang oleh tentara pasukan Kolonel Soengkono.
Bung Hatta dalam film ini sempat menyatakan rasa bersalahnya karena membiarkan Soedirman berjuang sendirian di medan pertempuran, sementara ia "duduk-duduk" enak di pengasingan. Bung Karno yang juga sempat menyatakan rasa bersalahnya kemudian menghibur Hatta bahwa perjuangan mereka punya jalur sendiri-sendiri. Keduanya bersama para tokoh lain berjuang di meja perundingan lewat diplomasi.
Penggambaran keduanya mungkin seperti kritik keras yang dilontarkan oleh Tan Malaka bahwa Bung Karno, Bung Hatta, Amir Sjarifoeddin, dan Sjahrir adalah borjuis kecil yang memilih menyerahkan diri untuk ditahan Belanda ketimbang ikut perang gerilya.
Selain soal penggambaran sosok ketiganya, ada pula soal inisiator Serangan Umum 1 Maret 1948 yang dalam film ini disebutkan oleh Soedirman adalah Sri Sultan HB IX. Soedirman akhirnya mengakhiri gerilyanya dan kembali ke Yogyakarta.
Meski kecewa dengan hasil perjanjian Roem-Royen yang menyepakati diakhirinya gerilya, Soedirman menghentikan gerilyanya. Padahal, gerilya itu mampu membuat repot tentara Belanda yang saat itu berusaha mengembalikan cengkeraman kekuasaannya atas Indonesia.
Ketika menghadap Presiden Soekarno di Gedung Agung, Soedirman disambut dengan pelukan. Bung Karno meminta adegan pelukan sambutan itu diulang untuk meyakinkan bahwa adegan itu tidak luput dari jepretan kamera wartawan. "Saya mengikuti permintaan Sinuhun yang meminta saya ke Yogya," kata Soedirman.
Sosok Jenderal Soedirman, Soekarno, Tan Malaka, dan apa peran mereka dalam perjuangan digambarkan menurut versi pembuat film ini. Mungkin versi masing-masing penonton bisa berbeda-beda. (SRI REJEKI). Sumber Kompas.com